Halo Sahabat Cymed, di era pandemi ini banyak sekali hal-hal yang sempat “booming”, entah itu dari kebiasan-kebiasaan baru, bahkan sampai merambat ke aplikasi-aplikasi yang sempat viral seperti TikTok. Siapa sih yang nggak tahu aplikasi Tik Tok? Hampir semua orang pasti tahu apa itu TikTok.
Yap, Tik Tok adalah sebuah jaringan sosial dan platform video musik dari Tiongkok yang diluncurkan pada September 2016 oleh Zhang Yiming, pendiri Toutiao. Aplikasi tersebut memperbolehkan para pemakai untuk membuat video musik pendek mereka sendiri.
Peradaban modern telah menjadi angin segar bagi kawula muda serta para ‘pembaharu’-nya. Berbagai trend, kebudayaan serta kebiasaan baru secara aksiomatik bertumbuh dan berkembang subur dalam masyarakat kita. Globalisasi dan industrialisasi menjadi penyebab utama, dimana terjadi “dividen” di antara katakanlah anak-anak yang lahir pada tahun 80-90’an atau yang ter-influence oleh musisi barat White Lion serta musisi lokal Nike Ardilla, dibanding dengan paradigma pertumbuhan usia yang dialami oleh anak-anak yang terlahir tahun 2000 yang dipengaruhi oleh musisi Letto, Sheila On 7. Kontrasinya dalam sekian tahun dapat begitu dialami, dipandang dan dirasakan. Apalagi teruntuk anak-anak yang lahir pada tahun 2010 an, yang jika dihitung sampai tulisan ini dibuat yakni tahun 2020 usia mereka memasuki usia 10 tahun terjadi perbedaan yang sangat mendasar. Anak-anak zaman dulu yang termasuk lahir di tahun 90 hingga 2000 an menghabiskan waktunya lebih kepada bersosialita, berinteraksi, bermain diluar rumah atau apapun yang istilahnya disebut sebagai guyub, peguyuban anak-anak, di langgar, di lapangan sepak bola atau di salah satu rumah dari salah satu anak kelompok tersebut. Sedangkan, dunia industrialisasi dan globalisasi yang telah menjerembab ke dalam seluruh aspek kehidupan di dunia yang melahirkan suatu invensi teknologi modern seperti perkembangan musik hingga hadirnya media sosial. Media sosial anggaplah seperti layaknya kapal bagi tiap orang. Ia sendiri yang menjadi nahkodanya dan ia bebas, berhak serta berdaulat untuk menentukan kemana kapalnya hendak berlayar dan berlabuh. Musik pop, rock dan reggae seakan tergeser atau mendapatkan satu rival baru yakni “remix” ala aplikasi ‘anyaran’ yang diciptakan di Dou Yin, China dimana ciri khas alunan musiknya cenderung membuat sensasi atau dimensi baru bagi pendengarnya yang alunan nadanya dapat membuat orang bergoyang secara tidak sadar yakni Tik Tok
Jika ingin menelisik dan mengobserbvasi Musik Tik Tok seakan menjadi suatu “engineer” bagi roda manusia sekarang. Yang dulu orang sangat menyukai alunan distorsi oleh musik rock, sekarang orang cenderung suka berjoget karena musik yang dialunkan oleh Tik Tok rata-rata berdendang namun jauh berbeda dengan lazimnya musik dangdut. Tik Tok ini berpanguh pada cara berpikir (cognitive), kemauan (volition), emosi (affective), dan perilaku (psychomotor). Meskipun, bisa dibilang Tik Tok ini hanyalah alat dimana baik buruknya tergantung oleh tangan siapa yang memakainya. Kita bisa lihat, bahwa Tik Tok yang dulunya menjadi suatu hal yang tabu serta salah satu ‘tokoh’ ternama di Tik Tok yang bernama Bowo dihujat dan dibully sedemikian masifnya di jagat media sosial karena ‘tingkah tengil’nya di Tik Tok menembus lintas media hingga Facebook, Instagram dan status-status Whatsapp. Kemudian silih waktu berganti Tik Tok justru menjadi media bagi remaja-remaja zaman sekarang. Dan perkembangan ini sangat masif,hingga hampir seluruh aspek kehidupan seakan-akan ‘wajib’ direkam dalam Tik Tok. Dari peristiwa yang remeh temeh dan yang pada masa lalu ia tak pernah direkam seperti salah satunya peristiwa dirinya menangis di kamar sendirian. Hal yang seharusnya ditutup-tutupi seakan menjadi suatu peristiwa yang harus diumbar dan orang lain wajib tau. Disini degradasi moral dimulai. Orang mulai tidak lagi menghargai privasi. Orang mulai meruntuhkan batasan privasi dan batasan dimana orang harus tahu.
Tik Tok pula secara tidak sadar bisa membuat orang menjadi introvert. Yakni pergeseran prilaku sosial, dimana orang yang seharusnya keluar rumah untuk bersosial, ia mengganti peristiwa sosial itu ke dalam satu bingkai media sosial. Padahal sejatinya media sosial takkan bisa menggantikan dinamika sosial. Dan pasti berbeda, pasti takkan sesempurna bersosialita di luar rumah. Dengan Tik Tok pula orang cenderung melupakan rasa malu, dimana segala hal di luar dengan tanpa pertimbangan yang panjang ia rekam. Padahal tidak semua hal di luar boleh untuk direkam apalagi dipublikasikan. Sekarang yang menjadi salah satu contoh degradasi moral diakibatkan oleh kecanduang aplikasi ini adalah ‘goyangan’nya. Muda-mudi, pria-wanita saling berlomba-lomba untuk menunjukkan goyangan tangan, pinggul serta dada. Bukannya malu justru mereka bangga dan saling berkompetisi untuk menunjukkannya. Pencarian identitas lewat goyangan bokong yang mengakibatkan bertambahnya jumlah follower di akun media sosial mereka, itulah yang menjadi suatu “katarsis” kehidupan dan mimpi orang-orang zaman sekarang. Brigita Meliala, Bowo Alpenliebe, Risa Culametan dan Denise Chariesta adalah contoh-contoh orang yang dengan mudahnya masuk industri pertelevisian tanah air disebabkan ‘ulah’ mereka. Mau perkelahian, kesombongan, kesedihan dan harapan semuanya dicurahkan ke satu aplikasi yang bernama Tik Tok ini. Bahkan tiada lagi rasa malu orang menggerakkan dan menggoyangkan tubuh mereka demi ‘konten’. Jika penggunaan aplikasi Tik Tok ini telah sampai kepada tahap kecanduan, maka akan seperti ekstaksi yang menyebabkan sulitnya untuk bersinggah atau move on.